Sabtu, 11 Februari 2017

Asa Media Cetak Maksimalkan Kanal Digital

Industri media massa, khususnya media cetak, kini tengah tertekan oleh arus digitalisasi. Mereka menghadapi dilema, pada satu sisi investasi digitalnya tak kunjung membuahkan hasil, di sisi lain media cetak kendati masih menguntungkan tapi perlahan mulai ditinggalkan pengiklan. Bagaimana seharusnya praktisi media cetak memaksimalkan revenue dari kanal digital?
Menurut Direktur Eksekutif Serikat Perusahaan Pers (SPS) Pusat Asmono Wikan, media cetak di Indonesia bisa berkaca dari saudaranya di Negeri Paman Sam. Tahun lalu, salah satu media cetak terkemuka di AS, New York Times, sukses membukukan jumlah pelanggan digitalnya hingga 1 juta pelanggan berbayar, melampau versi cetaknya.
“Kenapa di Amerika bisa sementara di Indonesia hingga saat ini sepertinya masih susah? Belum ada contoh media cetak yang sukses meningkatkan pelanggan digital seperti di AS,” katanya.
Di sisi lain, ketika masuk ke ranah digital, media di Indonesia juga memiliki kompetitor raksasa yakni Facebook dan Google. Bahkan, asumsi belaja iklan digital 2015 di Indonesia sebesar Rp 1,1 triliun, konon 50 persennya masuk ke Google. “Karena itu saya tidak sepakat kalau kita bersaing sesama media, musuh bersama kita justru Google dan Facebook,” tegasnya.
Tantangan tersebut harus dijawab oleh para praktisi media cetak di Indonesia. Karena itu, School of Media Management (SoMM) Batch #15 mengusung tema Maksimalisasi Marketing melalui Kanal Digital. Workshop ini diharapkan menjadi ruang diskusi dan belajar bagi para praktisi marketing media cetak untuk melihat insight dari para pelaku digital marketing di Indonesia.
Acara yang berlangsung selama dua hari, Rabu - Kamis, (16-17/3/2016), di Aula SPS, Jalan Kebon Sirih 32 - 34 Jakarta menghadirkan pembicara Managing Director Inmark Digital Ventura Elisawati, CEO and Founder m-STARS Joseph Lumban Gaol, Manager Iklan Harian KOMPAS Atok Risaptoko, dan Head Bisnis Detik.com Hugo Diba.
Menyambung pengantar Asmono Wikan, Ventura mengatakan, beberapa tahun terakhir memang terjadi shifting pola konsumsi media. Sebagai konsumen media, ia sendiri merasakan orang mulai meninggalkan media cetak dan beralih ke digital. Dengan sendirinya, media cetak pun tak bisa memaksakan orang untuk membaca media cetak. Karena itu, masuk ke kanal digital dan memaksimalkan merupakan langkah wajib.
Namun, Ventura mengakui hingga saat ini memang belum ada media cetak di Indonesia yang sukses mengelola digital dan bisa menjadi menjadi model bisnis yang tepat untuk media lain. Semua masih dalam era trial and error. Satu-satunya media yang boleh dibilang sukses menikmati berkah digital baru Detik.com yang secara nature memang berawal dari digital.
Di tengah makin tingginya penggunaan internet di seluruh dunia, termasuk di Indonesia peluang bagi media untuk mendapatkan audiens yang lebih luas makin terbuka. Dari data We Are Social 2016, Ventura menunjukkan Indonesia berada di peringkat ketiga dunia (70%) dari sisi mobile’s share of web traffic.
“Ternyata ada kecenderungan, ketika akses lewat device yang di share adalah link, baik blog maupun berita. Ini challenge bagi media, bagaimana membuat konten menarik yang shareable sehingga bisa menjadi viral. Ukurannya adalah jika info yang kita share itu setelah berputar-putar di-share jejaring kita, lalu akhirnya bisa balik lagi ke kita,” katanya.
Menurut Ventura, media kini menghadapi dua tantangan. Pertama, memanfaatkan bauran digital & social media sebagai “SEO” untuk menarik minat pembaca. Kedua, mengintegrasikan social media untuk menciptakan produk promo/iklan yang sesuai kebutuhan pemasang/produsen.

Digital Makin Diminati
Selepas Ventura, pembicara berikutnya pada workshop SPS School of Media Management (SoMM) Batch #15 di Jakarta, Rabu (15/3/2016) adalah Joseph Lumban Gaol (CEO and Founder m-STARS) yang menyampaikan tema How to Monetize Your Digital Invesment. Menurutnya, prospek digital dari tahun ke tahun terus menanjak. Kini bahkan dari sisi pendapatan iklan digital telah mengalahkan radio. “Sekarang tinggal menunggu giliran media cetak yang diprediksi juga akan kalah dengan digital, karena itu tak bisa tidak media cetak kini harus integrated dengan digital,” ujarnya.
Media cetak harus integrasi dan campaign dengan digital karena digital memiliki sejumlah keunggulan. Di antaranya engagement langsung sehingga advertisirer lebih happy karena mereka bisa mengukur langsung. Lalu, targetting-nya juga bisa spesifik. “Contohnya saya mau muncul di rubrik yang pembacanya 15 - 25 tahun, lalu mau munculnya hanya siang hari tidak malam, advance profiling seperi itu bisa dilakukan di digital. Dan ada follow to action-nya,” jelasnya.
Ia mengingatkan, pada dasarnya orang membeli media karena konten bukan iklan. Secara alamiah iklan merupakan moda disruptive yang mengganggu kenyamanan orang. Dan, orang membeli media bukan karena ingin membaca iklan melainkan membaca konten. Maka, ketika mau “mengganggu” pembaca, perlu dilakukan dengan elegan. Artinya harus relevan dan kontekstual.
Untuk menggarap iklan, banyak media yang mempercayakan ke perusahaan ad network alias agensi iklan digital. Mereka tidak menjual iklannya sendiri melainkan mempercayakan kepada ad network seperti Adsense dari Google. Namun, perlahan media di Indonesia mulai percaya diri menjual langsung iklan mereka tidak melalui ad network, salah satunya Detik.com.

Iklan Baris Tetap Optimis
Di hari kedua workshop School of Media Management (SoMM) Batch #15 di Jakarta, Kamis (16/3/2016), Atok Risaptoko dan Hilman dari Tim Iklan Harian Kompas berbagi pandangan tentang Masa Depan Iklan Baris. Menurut Hilman, salah satu yang terkena dampak digitalisasi adalah iklan baris. Di Kompas sendiri iklan baris tahun 2015 turun 17 persen dibanding tahun 2014. Ini seolah makin memperkuat senjakala media cetak yang disuarakan oleh Bre Redana akhir tahun lalu.
Senjakala media cetak menurut Hilman merupakan isu industri yang harus dicari solusinya bersama-sama. Kompas sendiri hingga kini belum menemukan satu formula ampuh dan paten untuk mengatasi laju senjakala media cetak. “Makanya ini memotivasi kami untuk sharing dalam forum ini, agar kami juga bisa mendengar insight dari teman-teman,” ujarnya.
Hilman optimis masa depan iklan baris di media cetak masih cukup baik. Apalagi jika memperhatikan tren dunia, seperti toko online Amazon dan Alibaba yang membuka toko offline. Banyak yang bertanya apa yang sesungguhnya mereka cari. Salah satu alasannya ternyata internet tidak bisa menawarkan semua solusi. “Experience tidak bisa didapatkan di internet. Inilah yang jadi dasar pijakan optimisme kami terhadap iklan baris di media cetak,” katanya.

Belajar dari Detik.com
Usai makan siang, Head of Business Detik.com Hugo Diba, meyempurnakan materi-materi yang didapatkan selama dua hari dengan berbagi pengalaman Meraih Pendapatan dari Kanal Digital. Dengan penuh percaya diri Hugo mengatakan, 99 persen pendapatan Detik.com berasal dari iklan. Karena itu tepat jika media fokus menjual iklan mereka.
Selama ini, media digital kerap menganggap bahwa page view menjadi pijakan revenue. Makin banyak jumlah page view makin tinggi revenue-nya. Tak heran jika banyak portal yang melakukan berbagai cara demi menaikkan page view. Tapi kini era sudah berubah. “Dulu bisa, tapi tahun 2016 Anda punya page view 100 juta per hari belum tentu revenue mengikuti,” katanya.
Menurut Hugo, kini pemasang iklan makin cerdas memilih media. Mereka ingin membayar berdasarkan performance bukan traffict. “Yang penting buat media sekarang, bagaimana membuat pembaca tiggal lebih lama di halaman kita. Dengan page views yang sedikit pun kalau dia stay di halaman lebih lama, nanti kinerja iklannya juga akan lebih bagus, efektifitasnya, dan engagment time-nya lebih tinggi,” jelasnya.
Karena itu, Detik.com kini punya formula baru. Revenue berhubungan dengan tiga hal yaitu audiens (jumlah pembca), traffict, dan engagement. Tiga hal ini mutlak tidak bisa salah satunya saja. Untuk meraihnya butuh totalitas semua tim, bisnis maupun redaksi.
Metode penjualan iklan di Detik.com pun kini berbeda. Sejak April 2015 media yang kini masuk dalam grup TransCorp membuat keputusan mengejutkan dengan melepas ketergantungannya dari Google Adsense. Padahal selama ini melalui Google Adsense setiap tahun Detik.com mendapatkan Rp 42 miliar.
“Dulu kita berpikir kita punya inventory banyak daripada menganggur lebih baik dititipkan, tapi kalau mau growth kita tidak bisa seperti itu. Sebab 70 persen inventory kita mempengaruhi 30 persen, kalau porsi direct selling lebih besar akan terasa. Setelah kita copot (google adsense), akhirnya brand melihat bahwa pasang iklan di Detik tidak bisa lewat Google harus langsung. Dan kita bisa jual lebih mahal 5 kali lipat dari Google,” pungkasnya. *** (nif)

Dongkrak Penjualan dengan Riset Pasar

“Riset dibutuhkan agar keputusan yang dibuat tidak salah. Riset sangat diperlukan untuk menaikkan pendapatan (revenue),” Direktur Roy Morgan Research Ningsih Sumitro
Berlangsung di Bali, pada 10 – 11 Juni 2015, workshop School of Media Marketing (SoMM) batch #14 kembali digelar Serikat Perusahaan Pers (SPS) Pusat, di sela-sela forum Jambore Media dan PR Indonesia (JAMMPIRO), yang dibesut bersama dengan majalah PR Indonesia. Menghadirkan Direktur Roy Morgan Ningsih Sumitro, Direktur Komersial Femina Baslir Djamal, dan Corporate Secretary Bank Mandiri Rohan Hafas sebagai narasumber, SoMM kali ini mengambil topik “Strategi Optimalisasi Revenue Media Melalui Riset Pasar”.
Menurut Ningsih Sumitro, secara umum kini media memang tengah mengalami tekanan penurunan revenue. Bukan hanya media cetak, televisi pun mengalami hal yang sama. Di tengah penurunan revenue tersebut, para pengelola media perlu memandang riset sebagai bagian penting untuk mengevaluasi sekaligus merancang strategi bisnis yang tepat.
Perempuan yang telah makan asam garam dunia riset, marketing, hingga sales selama 19 tahun di perusahaan consumer goods Unilever ini, mengungkapkan ibarat kulit manusia, brand membutuhkan injeksi atau di-rejuvenate agar tetap steady atau growth. Inilah mengapa produk yang sudah dikenal beratus tahun pun terus berganti kemasan setiap tahun, agar selalu baru dan tidak dianggap tua. Tapi harus diingat positioning-nya tidak boleh berbeda.
“Ini juga terjadi untuk brand media seperti koran. Koran jangan sampai dianggap produk untuk orang tua saja. Tapi juga bagi anak muda. Bagaimana kita meng-encourage pembaca-pembaca muda. Belajarlah dari Lego, Blue Band, yang bisa bertahan dari generasi ke generasi,” kata mantan Country Director Levis itu.
Untuk menjaga brand agar selalu relevan dan muda, riset dan pengembangan merupakan sebuah pekerjaan yang tak boleh putus. Masalahnya, tidak semua hal bisa dengan mudah dikendalikan. Situasi ekonomi, perubahan geologi, perubahan tingkahlaku konsumen contohnya. Tapi, hal itu dapat diantisipasi dengan pintar-pintar membaca perubahan. “Riset dibutuhkan agar keputusan yang dibuat tidak salah. Riset sangat diperlukan untuk menaikkan pendapatan (revenue),” tegasnya.
Senada dengan Ningsih, Baslir Djamal  pun memandang riset sebagai hal krusial bagi media. Namun, ibarat lampu sorot, riset tidak bisa diandalkan untuk menyelesaikan segalanya. Riset harus didisain agar fokus ibarat lampu senter, menyorot objek tertentu. “Objective-nya apa, apanya yang mau diukur, setelah datanya didapat mau apa dengan data itu? Ini harus jelas dulu,” katanya.

Riset Internal
Selama ini, selain mengandalkan lembaga riset yang telah dikenal seperti Nielsen maupun Roy Morgan, media juga membangun riset internal yang kuat. Di Femina, misalnya, risetnya dipimpin oleh mantan Kepala Divisi Riset Unilever yang memang dikenal sangat ekspert dalam bidang ini. Karena itu, Femina lebih banyak menggunakan riset internal untuk meyakinkan kliennya.
Baslir mengingatkan, sebenarnya secara internal, riset yang dilakukan oleh media dapat membawa berbagai keuntungan tambahan bagi perusahaan. Karena kebutuhan klien yang beriklan di media tentu berbeda-beda. Ada yang ingin meningkatkan awareness, di sisi yang lain ada yang ingin meningkatkan penjualan. Tapi ada juga yang datang dengan konsep yang sebenarnya tidak relevan untuk pasar.
“Disitulah kita melihat peluang sebagai marketing consultant dan bisa dapat uang lebih, sebab sekarang eranya sudah berubah tidak bisa mengandalkan proposal iklan. Di Indonesia sekarang tidak ada pengukuran yang tepat, semua serba tanggung tidak ada yang bisa dipegang. Yang bisa dipegang adalah mengikuti cara mereka (klien) berpikir dan memberikan data yang mereka inginkan,” lanjut Baslir memberi tips.
Menanggapi pertanyaan dari salah satu peserta tentang riset internal yang kurang dipercaya klien karena seolah isinya selalu yang baik, Baslir menyarankan agar ketika datang ke klien, jangan datang sebagai orang periset. Tapi datanglah sebagai orang media yang  mewakili pembaca. Dan menunjukkan bahwa pembaca medianya adalah pasar brand klien yang sangat potensial.
Sementara itu, Rohan Hafas yang mendaptkan kesempatan di hari kedua, sebelum forum JAMMMPIRO, menyampaikan sharing pengalaman Bank Mandiri dalam menggunakan data riset pasar, termasuk strateginya dalam memilih media untuk beriklan. Riset pasar sangat penting utamanya untuk memetakan dan mengetahui keinginan nasabah atau calon nasabahnya. Terkait media buying, Mandiri sendiri menggunakan agency, namun sesungguhnya dengan banyaknya channel yang tersedia, kesempatan menyapa konsumen makin intens.
“Kami melihat media sosial sekarang sudah banyak yang menjadi marketer. Sebab konsumen melihat iklan dianggap membual, sedangkan blogger yang lebih personal dari pengalaman pribadi lebih punyatrust. Meda juga begitu trust-nya seperti apa. Sudahkah wartawannya didorong menjadi blogger-blogger,” kata Rohan.
Terkait trust media, mantan Pemred Pikiran Rakyat, Budiana menimpali bahwa trust media cetak lebih tinggi dibanding media sosial. Selama ini media sosial dianggap memiliki masalah dalam soal trust, banyak akun palsu dan konten yang di-publish tidak melalui seleksi editorial yang ketat. “Kami di SPS sedang campaign agar orang kembali ke print (media cetak). Kami berharap pemasang iklan mendukung bahwa informasi yang terverifikasi itu ada di media resmi,” kata Wakil Sekjen SPS Pusat itu. *** (nif)